Kamis, 15 Desember 2016

MEMBENTUK KARAKTER MELALUI MATEMATIKA




Pendidikan karakter dan penanaman nilai di Indonesia selama ini masih di lakukan seacara parsial dan di anggap menjadi tanggung jawab dan wewenang guru-guru tertentu. Penanaman nilai religious dominan guru agama,sedang penanaman nilai moral ,toleransi,nasionalisme di serahkan pada guru ppkn. Guru tersebut secara factual mempunyai keterbatasan untuk mengaitkan dangan konteks kehidupan sehingga pendidikan karakter dan penanaman nilai relative kurang berhasil.
            Kurangnya penanaman nilai dan karakter melalui pendekatan persial secara umum yaitu indikator yang sangat nyata yaitu tawuran,penggunaan narkoba,pemerkosaan,pergaulan bebas.kenyata.an seperti itu sudah cukup untuk menjadi alasan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang sedang terpuruk. Penanaman karakter yang baik pada diri peserta didik sangat perlu di lakukan serius dan upaya tersebut tidak hanya tugas guru pendidikan agama saja,tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab bersama, termasuk guru matematika.
            . Pembelajaran matematika dapat dipandang sebagai suatu keadaan atau sifat atau bahkan nilai yang bersinergis dengan nilai-nilai karakter. Matematika sangat di harapkan menjadi sarana bagi pencapain tujuan ini yakni adanya perubahan tingkah laku dan sikap kepada anak didik yang mana Nilai karakter yang ada pada pembelajaran matematika adalah terbentuk pribadi yang berkarakter seperti jujur,kreatif,disiplin,rasa ingin tahu, mandiri,, dan kerja keras, di samping kemampuan berfkir matematis yang berpijak pada pemikiran logis dan sistematis, demikian pembelajaran matematika di harapkan tidak hanya mampu mengantarkan siswa untuk berhasil memperoleh prestasi,tetapi di harapkan pula adanya perubahan sikap dan karakter. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran bukan hanya untuk merubah perilaku siswa, namun salah satunya adalah untuk membentuk karakter siswa dan bukan hanya semata pada mempelajari substansi mata pelajaran. Karakter yang dimaksud di sini  adalah kemampuan siswa dalam berpikir untuk membedakan yang baik dan benar, mengalami emosi-emosi moral (bersalah, empati, sadar diri), melibatkan diri dalam tindakan-tindakan (berbagi, berderma, berbuat jujur), meyakini moralitas yang beradab dan bermartabat, dan menunjukkan kejujuran, kebaikan hati, dan tanggung jawab (Kemdiknas, 2010).
            Diharapkan seorang guru matematika dapat merancang pembelajaran matematika sedemikian rupa, sehingga dapat membantu siswa dalam mengembangkan sikap dan kemampuan intelektualnya, dan produk dari pembelajaran matematika tampak pada pola pikir yang sistematis, kritis, kreatif, disiplin diri, dan pribadi yang konsisten. Pengaruh pembelajaran matematika yang dilakukan sebagian guru selama ini ternyata masih didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa ada dorongan untuk mengoptimalkan potensi diri siswa, mengembangkan penalaran maupun kreativitasnya. Lebih parahnya adalah adanya anggapan bahwa seolah-olah pembelajaran matematika lepas dari pengembangan kepribadian siswa. Pembelajaran matematika dianggap hanya menekankan faktor pengetahuan saja, padahal pengembangan kepribadian sebagai bagian dari kecakapan hidup merupakan tugas semua mata pelajaran di sekolah. Pembelajaran yang demikian menjauhkan siswa dari sifat kemanusiaannya. Siswa seolah-olah dipandang sebagai robot atau benda/alat yang dipersiapkan untuk mengerjakan atau menghasilkan sesuatu, tidak peduli bentuk kepribadian apa yang berkembang dari diri seorang siswa.
Hal inilah yang diharapkan muncul dari pemikiran seorang guru matematika, bagaimana seorang guru matematika dapat mendesain pembelajaran matematika yang memungkinkan di dalamnya terdapat aktivitas-aktivitas yang dapat mendukung tumbuh kembangnya kepribadian siswa, seiring dengan berkembangnya nilai-nilai karakter yang ada dalam diri siswa saat belajar matematika. Nilai-nilai yang dibelajarkan kepada siswa di kelas sedapat mungkin juga mencakup nilai-nilai yang berkembang di masyarakat secara umum. Misalnya, melalui aktivitas diskusi, siswa dilatih untuk menghargai dan mengkritisi pendapat orang lain, menghargai kesepakatan, dan berlatih mengemukakan pendapat dengan argumentasi yang kuat. Nilai-nilai ini sebenarnya merupakan bagian kompetensi sikap yang harus dicapai siswa sesuai dengan tuntutan dalam kompetensi inti pertama dan kedua (sikap spritual dan sosial).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar